Hari yang Tak Terduga
Pagi ini mataku sama sekali tak ingin membuka seakan menempel tak mau lepas. Semalaman aku tak bisa tidur karena sibuk memikirkan hari ini. Aku akan pergi bersama seseorang yang telah lama kutunggu.
Ya, dia sosok spesial dimataku. Pertama kulihat dia berdiri di lapangan sekolah menyuruh junior-junior untuk segera berbaris rapi. Huh! Dia kira kami siapa? Anak domba, harus digiring-giring segala? Sejak saat itu tak bisa aku berhenti mencoba curi-curi pandang melihatnya. Tak kusangka hari yang kuimpikan tiba. Aku juga tak tahu bagaimana awalnya aku bisa dekat dengannya seperti sekarang. Terserah bagaimana dulu yang penting adalah hari ini.
………………………………………………..GUBRAK…………………………………………………..
“Auww, sakit!”, ternyata sedari tadi aku masih berada di atas kasurku. Kasurku memang empuk tapi kalau jatuh ke lantai lumayan sakitnya.
“Wahhh!!! Jam berapa sekarang ??”, kulihat jam di dinding yang letaknya menempel di dinding belakang meja belajarku. Ternyata sudah pukul 9 pagi. Padahal kami janji bertemu di pertigaan sekolah pukul 10. Bagaimana ini?? Mandi tidak ya?
Kusambar handuk dari jemuran dan bergegas ke kamar mandi. Tak lebih 5 menit aku sudah kembali ke kamar dan berusaha mencari pakaian yang cocok untuk acara (acara apa ya ini?) kencan mungkin?
“Ma, aku pergi dulu ya mungkin pulangnya sore”, sahutku sambil mengambil setangkup roti di meja makan.
“Mau kemana? Sama siapa?” pasti mama tanya itu.
“Ke mall aja kok sama temen. Daa ma..” kuhampiri ibuku di dapur dan kucium tangannya (hem, sepertinya bau bawang).
Aku memutuskan untuk naik ojek saja dibanding naik angkot karena lebih cepat sampai (sebegitu tak sabarnyakah aku?) walaupun ongkosnya pun pasti lebih mahal. Biar sajalah demi kesuksesan hari ini.
Perutku terasa sakit, tanganku dingin, jantungku serasa mau copot. Bagaimana penampilanku? Pasti sekarang rambutnya sudah tak keruan. Apakah aku membawa sisir kuning kesayanganku?
“Sudah sampai, neng”, suara si abang ojek mengagetkanku.
“Hah? Oya, bang. Ini uangnya, makasih”, aku segera turun dan sibuk berusaha merapikan rambutku.
Di mana dia? Kucoba telpon saja. Ah jangan, biar dia saja yang menelepon duluan.
Aha itu dia! Tapi kulihat dia sedang berbicara dengan seseorang. Dia tidak bilang akan mengajak orang lain kepadaku 3 hari yang lalu. Siapa ya perempuan berkerudung cokelat itu? Tapi kok kenapa mereka malah pergi. Mereka mau kemana? Bagaimana denganku??
“Kak Irul!”, tidak sempat aku memanggilnya mereka sudah terlanjur melaju cepat dan jauh meninggalkanku apalagi dengan suasana pertigaan jalan yang begitu ramainya. Suaraku pasti hilang begitu saja tidak terjamah sama sekali oleh pendengarannya.
Sebenarnya siapa perempuan itu dan mengapa mereka meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana nasib acara kencanku, kupikir bukan kencan kalau akhirnya ditinggal sendiri seperti ini. Rasaku pupus sudah, hancur lebur tidak dapat tersambung kembali walau dengan lem terkuat sekalipun.
Aku berjalan menyusuri trotoar jalan menuju sekolah. Kulihat pagar sekolah terbuka lebar padahal ini hari libur. Saat aku masuk, aku berpapasan dengan pak Ali, satpam sekolah.
“Siang, pak. Ada acara apa di sekolah, kok pagarnya terbuka lebar? Rapat komite?” tanyaku sok tahu.
“Bukan, de. Bapak juga kurang tahu, yang pasti ada murid yang mau pinjam satu ruang kelas untuk acara amal begitu”, jelasnya.
“Hemm.. Bapak tidak curuga dengan kegiatannya itu?”
“Tidak. Karena dia membawa surat ijin dari kepala sekolah. Sepertinya tadi bapak lihat banyak anak-anak turun dari dalam mobilnya dengan pakaian lusuh. Seperti anak jalanan, memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa. Terima kasih, pak. Aku mau lihat sendiri saja”, lanjutku sambil berlalu.
Aku berjalan di koridor dan mendapati kelas pertama di koridor itu terdengar suara seperti guru sedang mengajar. Saat kulihat dari jendela, meja-meja yang biasanya tertata rapi membentuk 4 baris yang berjajar 5 pasang kursi ke belakang itu sudah disingkirkan ke bagian pinggir dekat dinding sehingga menbentuk daerah lapang di tengah kelas. Di dalam juga kulihat lebih kurang 50 anak sedang mendengarkan dengan tenang apa yang dibicarakan oleh ‘sang guru’. Sepertinya aku mengenal guru ini. Dia mengenakan kaos biru bergambar wajah monyet dengan jeans gelap dan sepatu krem. Rambutnya lurus ditata biasa tapi terlihat menarik. Pasti kakak kelas.
Kuketuk pintu yang terbuka setengah itu.
“Assalamu’alaikum”, salamku
“Wa’alaikumsalam”, sahut anak-anak dan sang guru menjawab salamku bersama-sama.
“Oke, anak-anak. Kerjakan dulu saja ya tugas yang di papan tulis nanti kita bahas bersama”, kata sang guru.
“Iya, kak”, jawab mereka.
Kakak guru itu mengajakku ke luar kelas.
“Ada perlu apa, ya?”
“Eh, tidak. Aku hanya kebetulan ke sekolah lalu aku tanya pak satpam katanya ada acara amal yang dibuat sama murid. Karena ingin tahu, aku masuk saja”, jawabku.
“Oh, begitu. Memang setiap minggu, dimulai dari minggu ini, aku berencana meminjam satu ruang kelas untuk kupakai mengajar anak-anak jalanan di sekitar sekolah. Kasihan sekali mereka selalu bekerja padahal mereka masih kecil. Oh,ya perkenalkan aku Jono kelas XII IPS I”, jelasnya panjang lebar sambil memperkenalkan diri.
“Aku Martini, panggil saja Tini, kelas X.I. Oh, kak Jon yang suka ngutang bakso di kantin ya?”
“Lho, kok kamu tahu. Jadi malu, hihi”, ternyata benar tebakanku.
“Cuma sendiri saja, kak? Tidak capek mengajar murid sebanyak ini?” tanyaku mencari tahu.
“Sebenarnya kakak juga mengajak teman-teman yang lain, tapi ya tergantung mereka bisa atau tidak, apalagi hari libur seperti ini pasti banyak dari mereka yang punya acara masing-masing. Kamu juga pasti ada janji dengan seseorang dan bertemu di sekolah ya?” kok kak Jon bisa tahu sih, jangan-jangan dia bisa mrmbaca pikiran.
“Capek juga sih. Tapi kan ada enaknya juga, kita bisa saling tukar ilmu dan pengalaman, seru kan?” tambahnya
Mendengar cerita kak Jon aku jadi ingin ikut serta. Daripada aku harus pulang ke rumah padahal aku bilang sama mama akan pulang sore. Ini semua karena kak Irul yang meninggalkan aku begitu saja di pertigaan jalan dengan orang lain. Suatu hal yang tidak kuduga.
“Helloww.. Kok bengong sih?” kak Jon mengembalikanku dari lamunan.
“Eh-oh. Kak, aku ingin berkenalan dengan anak-anak di dalam dan ingin bantu kakak, boleh tidak?” tanyaku.
“Boleh dong, kenapa tidak?”
Wah, rasanya menyenangkan sekali bisa berkenalan dengan anak-anak itu. Walaupun dengan pakaian yang lusuh, mereka semangat sekali belajar. Ada dari mereka yang sudah berusia 10 tahun tapi belum bisa baca tulis dan menghitung. Jadi teringat aku yang jauh lebih beruntung dari mereka, bisa bersekolah dengan seragam yang bagus dan bersih, buku-buku lengkap, baru nan mahal. Tapi sering merasa malas dan bosan. Ini menjadi sebuah pelajaran berharga yang kudapat hari ini di sekolahku sendiri bersama kakak yang baik dan menarik .
Bahagianya aku hari ini. Aku sudah berhasil melupakan tujuanku hari ini yang sebenarnya. Biar sajalah, terserah dengan kak Irul. Pelajaran selesai pukul 4 sore. Kami berdoa lalu kembali membereskan kursi dan meja dan kemudian mereka pulang. Aku pun berpamitan dengan kak Jono dan dia menawarkan untuk mengantarku pulang. Tapi aku menolaknya karena nanti mama pasti tanya yang macam-macam.
“Makasih kak, biar aku pulang sendiri naik ojek saja masih sore kok. Hari ini seru”, kataku saat kak Jono menawarkan mengantarku pulang.
“Sama-sama. Makasih juga mau bantu kakak. Kalau kamu bisa minggu depan boleh kok ikut lagi”, tawarannya begitu menggiurkan untuk ditolak.
“Benar, nih? Insya Allah kalau minggu depan aku tidak ada acara akan kuusahakan”.
Setelah mengucapkan sampai jumpa aku segera mencari pangkalan ojek terdekat dan pulang.
Keesokan harinya di sekolah.
Kak Irul mengkampiriku dan meminta maaf perihal kemarin. Katanya, “Maaf, Tin. Kemarin itu sepupu kakak yang minta diantarkan ke rumah tante karena mamanya sedang tidak ada di rumah. Maaf, ya. Benar-benar maaf”. Kelihatannya permintaan maaf itu sungguh-sungguh. Bisa dipastikan aku memaafkannya tapi entah mengapa ternyata benar rasa itu betul-betul telah hilang dan tidak dapat disambung lagi. Jadi aku tidak begitu memperdulikan apakah hari ini dia akan meminta maaf atau tidak karena aku sungguh telah lupa. Aku juga bingung pada diriku sendiri.
Hapeku bordering, terlihat nama Kak Jono di layar. Ya, kami memang sudah bertukar nomor telepon untuk memudahkan komunikasi kami sebagai guru dadakan.
“Hallo”.
“Tini, pulang sekolah nanti temani kakak bertemu murid-murid ya, bisa tidak?”
“Boleh, kak”.
“Oke”.
Hatiku senang sekali kak Jono mengajakku pergi bertemu murid-murid lagi . Kuharap kejadian kemarin dengan kak Irul tidak terulang lagi. Eh, kenapa perutku sakit dan jadi tegang begini, ya? Jangan-jangan…..
Pagi ini mataku sama sekali tak ingin membuka seakan menempel tak mau lepas. Semalaman aku tak bisa tidur karena sibuk memikirkan hari ini. Aku akan pergi bersama seseorang yang telah lama kutunggu.
Ya, dia sosok spesial dimataku. Pertama kulihat dia berdiri di lapangan sekolah menyuruh junior-junior untuk segera berbaris rapi. Huh! Dia kira kami siapa? Anak domba, harus digiring-giring segala? Sejak saat itu tak bisa aku berhenti mencoba curi-curi pandang melihatnya. Tak kusangka hari yang kuimpikan tiba. Aku juga tak tahu bagaimana awalnya aku bisa dekat dengannya seperti sekarang. Terserah bagaimana dulu yang penting adalah hari ini.
………………………………………………..GUBRAK…………………………………………………..
“Auww, sakit!”, ternyata sedari tadi aku masih berada di atas kasurku. Kasurku memang empuk tapi kalau jatuh ke lantai lumayan sakitnya.
“Wahhh!!! Jam berapa sekarang ??”, kulihat jam di dinding yang letaknya menempel di dinding belakang meja belajarku. Ternyata sudah pukul 9 pagi. Padahal kami janji bertemu di pertigaan sekolah pukul 10. Bagaimana ini?? Mandi tidak ya?
Kusambar handuk dari jemuran dan bergegas ke kamar mandi. Tak lebih 5 menit aku sudah kembali ke kamar dan berusaha mencari pakaian yang cocok untuk acara (acara apa ya ini?) kencan mungkin?
“Ma, aku pergi dulu ya mungkin pulangnya sore”, sahutku sambil mengambil setangkup roti di meja makan.
“Mau kemana? Sama siapa?” pasti mama tanya itu.
“Ke mall aja kok sama temen. Daa ma..” kuhampiri ibuku di dapur dan kucium tangannya (hem, sepertinya bau bawang).
Aku memutuskan untuk naik ojek saja dibanding naik angkot karena lebih cepat sampai (sebegitu tak sabarnyakah aku?) walaupun ongkosnya pun pasti lebih mahal. Biar sajalah demi kesuksesan hari ini.
Perutku terasa sakit, tanganku dingin, jantungku serasa mau copot. Bagaimana penampilanku? Pasti sekarang rambutnya sudah tak keruan. Apakah aku membawa sisir kuning kesayanganku?
“Sudah sampai, neng”, suara si abang ojek mengagetkanku.
“Hah? Oya, bang. Ini uangnya, makasih”, aku segera turun dan sibuk berusaha merapikan rambutku.
Di mana dia? Kucoba telpon saja. Ah jangan, biar dia saja yang menelepon duluan.
Aha itu dia! Tapi kulihat dia sedang berbicara dengan seseorang. Dia tidak bilang akan mengajak orang lain kepadaku 3 hari yang lalu. Siapa ya perempuan berkerudung cokelat itu? Tapi kok kenapa mereka malah pergi. Mereka mau kemana? Bagaimana denganku??
“Kak Irul!”, tidak sempat aku memanggilnya mereka sudah terlanjur melaju cepat dan jauh meninggalkanku apalagi dengan suasana pertigaan jalan yang begitu ramainya. Suaraku pasti hilang begitu saja tidak terjamah sama sekali oleh pendengarannya.
Sebenarnya siapa perempuan itu dan mengapa mereka meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana nasib acara kencanku, kupikir bukan kencan kalau akhirnya ditinggal sendiri seperti ini. Rasaku pupus sudah, hancur lebur tidak dapat tersambung kembali walau dengan lem terkuat sekalipun.
Aku berjalan menyusuri trotoar jalan menuju sekolah. Kulihat pagar sekolah terbuka lebar padahal ini hari libur. Saat aku masuk, aku berpapasan dengan pak Ali, satpam sekolah.
“Siang, pak. Ada acara apa di sekolah, kok pagarnya terbuka lebar? Rapat komite?” tanyaku sok tahu.
“Bukan, de. Bapak juga kurang tahu, yang pasti ada murid yang mau pinjam satu ruang kelas untuk acara amal begitu”, jelasnya.
“Hemm.. Bapak tidak curuga dengan kegiatannya itu?”
“Tidak. Karena dia membawa surat ijin dari kepala sekolah. Sepertinya tadi bapak lihat banyak anak-anak turun dari dalam mobilnya dengan pakaian lusuh. Seperti anak jalanan, memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa. Terima kasih, pak. Aku mau lihat sendiri saja”, lanjutku sambil berlalu.
Aku berjalan di koridor dan mendapati kelas pertama di koridor itu terdengar suara seperti guru sedang mengajar. Saat kulihat dari jendela, meja-meja yang biasanya tertata rapi membentuk 4 baris yang berjajar 5 pasang kursi ke belakang itu sudah disingkirkan ke bagian pinggir dekat dinding sehingga menbentuk daerah lapang di tengah kelas. Di dalam juga kulihat lebih kurang 50 anak sedang mendengarkan dengan tenang apa yang dibicarakan oleh ‘sang guru’. Sepertinya aku mengenal guru ini. Dia mengenakan kaos biru bergambar wajah monyet dengan jeans gelap dan sepatu krem. Rambutnya lurus ditata biasa tapi terlihat menarik. Pasti kakak kelas.
Kuketuk pintu yang terbuka setengah itu.
“Assalamu’alaikum”, salamku
“Wa’alaikumsalam”, sahut anak-anak dan sang guru menjawab salamku bersama-sama.
“Oke, anak-anak. Kerjakan dulu saja ya tugas yang di papan tulis nanti kita bahas bersama”, kata sang guru.
“Iya, kak”, jawab mereka.
Kakak guru itu mengajakku ke luar kelas.
“Ada perlu apa, ya?”
“Eh, tidak. Aku hanya kebetulan ke sekolah lalu aku tanya pak satpam katanya ada acara amal yang dibuat sama murid. Karena ingin tahu, aku masuk saja”, jawabku.
“Oh, begitu. Memang setiap minggu, dimulai dari minggu ini, aku berencana meminjam satu ruang kelas untuk kupakai mengajar anak-anak jalanan di sekitar sekolah. Kasihan sekali mereka selalu bekerja padahal mereka masih kecil. Oh,ya perkenalkan aku Jono kelas XII IPS I”, jelasnya panjang lebar sambil memperkenalkan diri.
“Aku Martini, panggil saja Tini, kelas X.I. Oh, kak Jon yang suka ngutang bakso di kantin ya?”
“Lho, kok kamu tahu. Jadi malu, hihi”, ternyata benar tebakanku.
“Cuma sendiri saja, kak? Tidak capek mengajar murid sebanyak ini?” tanyaku mencari tahu.
“Sebenarnya kakak juga mengajak teman-teman yang lain, tapi ya tergantung mereka bisa atau tidak, apalagi hari libur seperti ini pasti banyak dari mereka yang punya acara masing-masing. Kamu juga pasti ada janji dengan seseorang dan bertemu di sekolah ya?” kok kak Jon bisa tahu sih, jangan-jangan dia bisa mrmbaca pikiran.
“Capek juga sih. Tapi kan ada enaknya juga, kita bisa saling tukar ilmu dan pengalaman, seru kan?” tambahnya
Mendengar cerita kak Jon aku jadi ingin ikut serta. Daripada aku harus pulang ke rumah padahal aku bilang sama mama akan pulang sore. Ini semua karena kak Irul yang meninggalkan aku begitu saja di pertigaan jalan dengan orang lain. Suatu hal yang tidak kuduga.
“Helloww.. Kok bengong sih?” kak Jon mengembalikanku dari lamunan.
“Eh-oh. Kak, aku ingin berkenalan dengan anak-anak di dalam dan ingin bantu kakak, boleh tidak?” tanyaku.
“Boleh dong, kenapa tidak?”
Wah, rasanya menyenangkan sekali bisa berkenalan dengan anak-anak itu. Walaupun dengan pakaian yang lusuh, mereka semangat sekali belajar. Ada dari mereka yang sudah berusia 10 tahun tapi belum bisa baca tulis dan menghitung. Jadi teringat aku yang jauh lebih beruntung dari mereka, bisa bersekolah dengan seragam yang bagus dan bersih, buku-buku lengkap, baru nan mahal. Tapi sering merasa malas dan bosan. Ini menjadi sebuah pelajaran berharga yang kudapat hari ini di sekolahku sendiri bersama kakak yang baik dan menarik .
Bahagianya aku hari ini. Aku sudah berhasil melupakan tujuanku hari ini yang sebenarnya. Biar sajalah, terserah dengan kak Irul. Pelajaran selesai pukul 4 sore. Kami berdoa lalu kembali membereskan kursi dan meja dan kemudian mereka pulang. Aku pun berpamitan dengan kak Jono dan dia menawarkan untuk mengantarku pulang. Tapi aku menolaknya karena nanti mama pasti tanya yang macam-macam.
“Makasih kak, biar aku pulang sendiri naik ojek saja masih sore kok. Hari ini seru”, kataku saat kak Jono menawarkan mengantarku pulang.
“Sama-sama. Makasih juga mau bantu kakak. Kalau kamu bisa minggu depan boleh kok ikut lagi”, tawarannya begitu menggiurkan untuk ditolak.
“Benar, nih? Insya Allah kalau minggu depan aku tidak ada acara akan kuusahakan”.
Setelah mengucapkan sampai jumpa aku segera mencari pangkalan ojek terdekat dan pulang.
Keesokan harinya di sekolah.
Kak Irul mengkampiriku dan meminta maaf perihal kemarin. Katanya, “Maaf, Tin. Kemarin itu sepupu kakak yang minta diantarkan ke rumah tante karena mamanya sedang tidak ada di rumah. Maaf, ya. Benar-benar maaf”. Kelihatannya permintaan maaf itu sungguh-sungguh. Bisa dipastikan aku memaafkannya tapi entah mengapa ternyata benar rasa itu betul-betul telah hilang dan tidak dapat disambung lagi. Jadi aku tidak begitu memperdulikan apakah hari ini dia akan meminta maaf atau tidak karena aku sungguh telah lupa. Aku juga bingung pada diriku sendiri.
Hapeku bordering, terlihat nama Kak Jono di layar. Ya, kami memang sudah bertukar nomor telepon untuk memudahkan komunikasi kami sebagai guru dadakan.
“Hallo”.
“Tini, pulang sekolah nanti temani kakak bertemu murid-murid ya, bisa tidak?”
“Boleh, kak”.
“Oke”.
Hatiku senang sekali kak Jono mengajakku pergi bertemu murid-murid lagi . Kuharap kejadian kemarin dengan kak Irul tidak terulang lagi. Eh, kenapa perutku sakit dan jadi tegang begini, ya? Jangan-jangan…..