Tuesday 9 June 2020

Being Working Millennial

Source : Pinterest

Hey I’m back! The last time I wrote on my blog when I was still galau-ing about getting employed. It’s probably going to be the long lost next episode. And here’s the short story of being a Working Millennial for these past 3 years (already???). A slight reminder, kalo apa yang diceritain di bawah ini purely based on my personal experience. Jadi, kalo ada kemiripan nama, tokoh, sebutan, insight, perspektif bahkan the whole story, mon maap mungkin kita imprint atau kembar yang tertukar. Atau bahkan kalau 100% kontra dari sobat online semua, mon maap mungkin kita yang tak sama tapi Tuhan tetap Satu.

Setelah proses pencarian kerja, yang Alhamdulillah-nya ga sampe bener-bener nganggur ya karena setelah lulus langsung keterima magang dengan dapat uang saku, akhirnya berlabuh di salah satu perusahaan keluarga (swasta lokal) terbesar di Indonesia. Sebagai Management Trainee. Dari awal gue memang banyak melamar untuk menjadi MT, karena dari yang gue baca, MT adalah salah satu program percepatan karir di sebuah perusahaan dengan tahun-tahun awal akan melakukan beberapa proses training yang mana menurut gue cocok untuk freshgrad. Intinya, gue yang saat itu masih agak blank soal dunia karir, it’s a good shot to be driven by MT program in the early years.Akhirnya offering juga setelah kurang lebih 2 bulan proses recruitment dan bolak balik izin. Buat surat resign lah gue setelah 7 bulan magang.

Awalnya kami ber-10, dua orang tidak tanda tangan kontrak artinya mengundurkan diri, dan akhirnya jadilah kami ber-8. Tahun pertama dilalui dengan beberapa training yang mengharuskan kami membuat progress report 3 bulanan dan final project di bulan ke-12. Dua tahun berikutnya kami diikat dalam kedinasan. Program MT ini total selama 3 tahun, yang mana jika resign sebelum waktu yang ditentukan, maka diharuskan membayar penalti sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Untuk program MT ini kami langsung ditempatkan di unit usaha (bukan holding) dan langsung ditempatkan di satu departemen tertentu. Gue di departemen Sales & Marketing. Wow, apa itu bagian Sales & Marketing. Gue ga akan menceritakan terkait detail pekerjaan apalagi sampai ke jobdesc-nya. Karena tentunya setiap perusahaan akan berbeda. Kayaknya lebih enak ceritanya dikasih alur pake tahun pertama, kedua, dan ketiga ya. FYI, per Juni 2020 ini, my MT Program will end soon. It means that, the penalty will be gone.

First year.
  • Opening new page of a new book.
Tahun pertama intinya adalah mengosongkan gelas kita. Gue yang baru ada pengalaman magang saja, belum jadi employee seutuhnya, bener-bener memanfaatkan masa-masa MT ini untuk belajar, probasi, dan adaptasi tentunya. Pekerjaan belum banyak, gue belum boleh pegang customer dulu, jadi masih ngintilin salah satu sales yang juga di-assign sebagai mentor gue saat itu. Lagipula memang masih disibukkan oleh training-training dari HO dan presentasi per tiga bulan. Gue isi gelas tiap hari dengan air berbagai rasa, jadi isi gelasnya campur-campur.
  • Sub chapter of the first main chapter.
Nah, baru 7 bulan di dept ini, kemudian gue dipindah atau bisa dibilang diangkat menjadi Project Management Officer (PMO). Tidak belong to department tertentu, tapi mengikut ke bagian Direksi, karena waktu itu ada pergantian CEO. Wah, tantangan baru. Sebelumnya posisi ini belum pernah ada, jadi tugas gue adalah menjadi kaki tangan indra semuanya deh dari Direksi (utamanya CEO). Semua project gue direct report ke CEO. Bahkan juga membuat company report untuk HO. Sampai project akhir gue untuk program MT dan lulus ya sebagai PMO.

Second year.
  • Ground-basing.
Mulai memahami PMO itu seperti apa, do some (a lot of) mistakes and learn again. Mulai menganalisis kondisi perusahaan, berusaha mengusulkan project baru. Sekaligus juga meningkatkan soft skill melalui experience dalam menjalani pekerjaan itu sendiri. Benar-benar belajar dunia profesional di korporasi seperti apa, ini toh namanya jadi karyawan...

Third year.
  • Make a leap.
Di bagian ini, beberapa project gue sudah berjalan. Dan ada satu project gede, from my own perspective sih gede ya, yang sudah dijalankan dari awal tahun dan di pertengahan tahun sudah mulai kelihatan akan mengarah kemana. I found it a thrilling, challenging, yet sensitive project. Tapi seru sekali menjalaninya dengan dream team (think tank team sih for the exact), dari hasilnya menurut gue sangat bisa membantu dan memberikan perspektif terhadap keadaan aktual di lapangan kepada BoD. Dari hasil project ini melahirkan beberapa project atau initiative turunan.Pokoknya di tahun ketiga ini, dengan sudah memiliki base yang cukup (walaupun masih dibilang minim) terkait PMO dan role yang gue jalanin itu seperti apa, gue ngerasa di cara gue kerja itu lebih sistematis dan firm terhadap goalsnya. Start to plan a bigger leap ahead!


That was a long story short of my MT program experience. Dari obrolan bareng manteman gue yang ikut program MT juga dari korporasi lain, kurang lebih sih begitu. Balik lagi, it depends on you how you want to start your career, mau lewat MT program atau engga. Cek en ricek lagi aja plus minusnya, karena masa program, isi kontrak, rules, bahkan nama programnya aja tiap korporasi bisa beda walaupun intinya sama-sama MT, ya.


Dah ini mau bridging ke sub tema berikutnya.


Kalau ini sih mau ceritain rasanya Nadia jadi karyawan kayak gimana. Sedikiiiiiit aja mau ceritain soal pengalaman bekerja, ya. Sesuai judulnya, jadi so-called Working Millennial.

Lika liku meeting
Meeting itu adalah sebuah pertemuan. Dengan pertemuan itu, tujuannya adalah mengumpulkan insight untuk memecahkan masalah atau mengatur merencanakan program kerja. Syarat wajib meeting yang baik itu harus ada yang ngundang, yang diundang, materi yang mau dibahas, dan yang paling penting goalnya sih. Syarat pelengkap yang bikin efektif efisien nya itu adalah tempat, waktu dan durasi, serta leader. Nah, ngikutin meeting menurut gue jadi pembelajaran seru nan asik. Kenapa? Karena disini selain memang secara pengetahuan lo harus excel di bagian elu (that’s why lo diundang meeting), tapi juga jadi ladang belajar memahami co-workers, subordinates, atau atasan lo. Banyak hal lucu yang bikin meeting lo tuh ga ada gong-nya gitu. 

1. Leaderless, wasting kinda empty
Dari anggota yang hadir meeting itu gatau siapa leadernya. Kalau dari awal udah gini sih
hampir hopeless untuk beberapa menit ke depan. Wasting kinda empty terjadi biasanya karena either materi yang mau di-meeting-in kurang kongkrit atau peserta meeting-nya kurang paham sama materi yang mau dibahas. That’s why gue belajar tiap ada undangan meeting dicek siapa leadernya, pesertanya, materinya kalau bisa dibaca dulu sebelum meeting. Hal-hal itu beneran bisa bikin meeting-nya kelar lebih cepet dan ga hollow (pahpoh) gitu pas keluar ruangan. 

2. Zero follow-up on progress
Kalau proses meeting-nya udah caem, percuma sih kalo ga ada yang jalanin Minutes of Meeting (MoM) nya. Terus buat apa di-meeting-in, Jubedaaaaaah. Karena poin yang gue pelajarin, everyone’s time is matter and valued as it can contribute to progression. Dan menurut gue, everyone on that meeting is involved for the results. 

3. The way people talk or share what’s on their heads and how people solve problems.
Ini ga ada teknik khusus, tapi inget ga sih pelajaran PPKn pas SD (pas gue SD nama pelajarannya PPKn btw). Bab tentang musyawarah, nah tuh persis dah begitu ilmunya, they said “Utamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi”. Jangan nyela, jangan membentak (kecuali lo owner), jangan underestimate kerjaan orang lain, jangan judes (gue takut sama orang judes, ini gue sih ya), trying to see things in helicopter view (means don’t think in your own bubble), yang paling penting sih don’t take it personal, ya. Cause I’ve been working with (many) older co-workers dengan keseruan yang pasti berbeda saat meeting dengan yang seumuran atau lebih muda yaa. Karena terkadang, hal-hal yang ga terlalu esensial dari meeting-nya suka bikin situasi jadi kurang kondusif dan ga dapet goal yang di-set di awal. So, please mind your attitude.

Silo Mentality
Istilah ini gue baru tau semenjak kerja, suwer. Ternyata maksudnya apatis. Biarkan gue mencapai KPI dept gue, terserah yang laen. Kurang lebih gitu deh. Padahal kalau tiap dept/divisi/bagian di satu perusahaan mencar-mencar, sinerginya kurang, yaa bingung jadinya mau dibawa kemana hubungan ini. Jadi lempar-lemparan tanggung jawab, kalo ada yang tau gimana kita kerja jadi mentality nya “Ah nanti kerjaan gue diusik dikomentarin terus jadi blunder sekantor” Padahal mindset yang bener, kita saling jadi polisi masing-masing. Artinya saling nilai dan koreksi, tapi bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk perbaikan yang dihandle bersama. Untuk kebaikan perusahaan tempat ladang kita mencari nafkah. Gue belajar, this is somewhat an unconscious mentality. Jadi kalo lagi ngerasa gini, come on wake up, dude!

Sebenernya, masih banyaaaaaak banget kalau mau diceritain satu-satu sih ya rasanya jadi karyawan kayak gimana. Yang patut diingat adalah ini hasil yang sekitar tiga tahun lalu gue perjuangkan, ini proses yang perlu dijalankan untuk dapat kesempatan lainnya di depan nanti (aamiin). Mungkin perspektif orang bisa berbeda, mungkin perspektif gue di masa depan bisa berubah, by that means you grow. Dan ini sebenarnya bukan specifically kisah anak millennial ya. Gue pake judul kek gitu biar keliatan masa kiwari aja pake istilah ‘millennial’ dan nunjukin juga sih gue generasi apa. Proses kayak gini sih bisa dirasain dan dijalanin sama siapa aja dari generasi apa aja.


I’m proud of who I am today, I cherish all of my failures, I remind myself to stay hungry and foolish. Cliche, ya. But, that's an undoubted mantra you should say to yourself.

0 comments:

Post a Comment